Rabu, 20 November 2013

Rating oh Rating

Kalo ngomongin soal rating, ya pasti yang terpikir adalah tayangan TV.

Seberapa sering Anda menonton TV? Saya sendiri akan bilang, "jarang". Apalagi alasannya kalau bukan sebagai pekerja, mayoritas waktu akan dihabiskan di tempat kerja, setelah itu lebih memilih untuk keluar makan atau jalan-jalan dengan teman-teman.

Lalu, apalagi alasannya jarang menonton TV?

Kalau mau sok idealis saya akan bilang, "apa yang bisa diambil dari tayangan TV saat ini, khususnya tayangan lokal?", jawabnya, "hampir tidak ada". Buat saya yang pernah mencicipi sekolah broadcasting dan magang di salah satu stasiun TV di Indonesia, sebuah tayang TV itu harus bisa memberikan sesuatu kepada penontonnya, baik itu pendidikan maupun hiburan yang berkualitas. Yang terjadi saat ini adalah tayangan TV dibuat HANYA sekedar mengejar rating, sering kali masalah konten diabaikan sama sekali.

Mengapa rating menjadi penting? apa salah jika stasiun TV mengejar rating?

Jawabnya, "ya rating itu penting dan mengejar rating tidak salah"


  • Melalui rating, sebuah stasiun TV bisa menjual tayangannya kepada para pengiklan. 
  • Melalui rating para pengiklan mau melirik stasiun TV tersebut untuk mengeluarkan sejumlah uang terkait promo produk mereka. 
  • Melalui iklan sebuah stasiun TV bisa melakukan produksi.
  • Dan melalui iklan stasiun TV bisa menghidupi sekian banyak karyawannya.

Untuk bisa menghasilkan rating tinggi tentunya para penyedia konten harus kreatif dengan program yang mereka buat, selain itu harus kreatif juga menjualnya kepada para pengiklan. Namun, alih-alih menghasilkan karya kreatif, yang terjadi adalah 'keputusasaan' (itu menurut bahasa saya).

Keputusasaan yang terlihat dari banyaknya SETTINGAN diberbagai jenis tayangan, termasuk ditayangan yang berjudul 'reality show'... reality kok ya di setting?! 

Ketika sebuah tayangan menampilkan seorang anak yang mencari ayahnya yang telah lama meninggalkannya tanpa alasan jelas. Ketika seorang gadis diceritakan marah besar ketika menemukan kekasihnya bersama wanita lain. 

Apa yang salah dengan cerita itu? Ya, sebagai tayangan yang menceritakan realita, benar adanya kejadian seperti itu ditemukan di kehidupan masyarakat kita. Yang salah adalah kesan negatif yang ditangkap penonton dan efek menghakimi yang diberikan penonton kepada para 'pemeran' dalam tayangan tersebut. Kenapa saya bilang 'pemeran', ya karena mereka berakting, mereka di setting untuk menjalankan perannya.

Berapa banyak penonton yang tau bahwa itu bukanlah kejadian yang sesungguhnya terjadi kepada orang-orang didalamnya? 

jawabnya, "sekian ribu atau bahkan jutaan penonton tidak tahu". yang penonton tahu adalah derita yang dialami 'pemeran utama' dan menjatuhkan sanksi sosial kepada 'pemeran penjahat'.

Bagi saya semuanya adalah korban. Penonton menjadi korban 'drama' yang dibuat para pemeran, dan pemeran adalah korban demi pencapaian rating. Jadi, apakah demi rating harus banyak yang berkorban?

Ketika penyedia konten mengeluarkan pernyataan, "bijaksanalah menyikapi tayangan yang ada", maka saya balik bertanya "sebijaksana apa Anda memberikan tayangan dengan konten seperti itu?"



Life doesn't imitate art, it imitates bad television. -Woody allen-



Tidak ada komentar:

Posting Komentar